LATAR BELAKANG
PERMASALAHAN
1.
Krisis Multi Dimensional
Sejarah mencatat bahwa sejak tahun
1997 Indonesia mengalami krisis yang sangat berat dan krisis itu tidak hanya
menyangkut krisis ekonomi saja, tetapi berpengaruh kepada sektor kehidupan
berbangsa dan bernegara. Imbas dari krisis tersebut adalah krisis ideologi,
krisis politik, krisis sosial, krisis budaya, krisis hukum, krisis bidang
pertahanan dan keamanan negara. Krisis itu dikenal dengan sebutan multi
dimensional crisis atau krisis berbanyak muka. Bila dicermati dan dianalisis
secara obyektif, maka sumber dari segala krisis itu awalnya adalah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan oleh para penyelenggara negara. Terutama penyelenggara
negara di bidang eksekutif, yang kemudian merambah pada bidang legislatif,
yudikatif, bahkan juga kepada masyarakat umum.
Penyalahgunaan kekuasaan dalam
penyelenggaraan negara ini, baik di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, hukum dan pertahanan keamanan bila diteliti sumber utamanya adalah
karena telah terjadi krisis moral dan menipisnya semangat kebangsaan dari para
penyelenggara negara. Di bidang ideologi terjadi penelikungan terhadap ideologi
negara Pancasila, di bidang politik lunturnya paham kebangsaan, di bidang
ekonomi telah terjadi sentralisasi pengumpulan kekayaan pada kroni-kroni
penguasa dan pengusaha, di bidang kebudayaan ada pembatasan dan pengekangan, di
bidang sosial terjadi kesenjangan, di bidang hukum telah terjadi dominasi
kekuasaan atas hukum, dan di bidang pertahanan keamanan telah terjadi
penyalahgunaan fungsi kekuatan pertahanan keamanan untuk kepentingan penguasa.
2.
Dampak Globalisasi
Kondisi buruk tersebut diperparah oleh
karena derasnya arus globalisasi yang telah secara sengaja mengintrodusir,
memasukkan dan melakukan penetrasi secara drastis konsep baru, faham
baru, sistem baru, filosofi baru yang
intinya bersumber pada pandangan yang kapitalistik, neo liberalisme,
individualisme dan materialistik. Maka di dalam masyarakat kita tiba-tiba
terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai yang bersumber kepada budaya bangsa,
kepada sejarah bangsa, bahkan konsep-konsep dasar berbangsa dan bernegara yang
bersumber pada Pancasila didiskreditkan sebagai pemikiran-pemikiran Indonesia
yang usang, sudah tidak tepat dan tidak dapat dipergunakan lagi. Dampak
globalisasi ini melahirkan pergolakan psikologis di masyarakat kita yang
kemudian menimbulkan bahaya besar bagi NKRI, yaitu apa yang disebut bahaya
disintegrasi nasional, timbulnya kesenjangan sosial dan munculnya krisis
kepemimpinan nasional dan merosotnya wibawa penyelenggara negara.
Dalam konteks ini perlu diwaspadai
dampak negatif yang ditimbulkan oleh arus globalisasi yang masuk melalui lembaga
non pemerintah (domestik maupun asing), lembaga negara dalam pemerintahan,
kelompok-kelompok masyarakat tertentu (pengusaha, cendekiawan, oknum-oknum
aparat) yang bertujuan untuk melakukan brain washing secara sistematis,
sehingga akhirnya kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, tidak lagi
menjadi ‘tuan’ di rumah sendiri, tetapi sekadar menjadi ‘kaki tangan’ asing.
Oleh karena otak kita telah dikuasai secara sistematis melalui berbagai program
yang disodorkan di bidang politik dan pemerintahan, seperti apa yang dikenal
dengan sebutan constitutional reform, legislative reform, dan
lain-lain. Kelengahan dan kebodohan kita adalah karena kita menerima secara
mentah-mentah, tanpa sikap yang kritis dan dengan serta-merta membuang
pikiran-pikiran yang bersumber kepada falsafah bangsa, sejarah bangsa dan faham
nasional yang dapat membawa kekacauan berpikir dan bersikap alergi terhadap
NKRI. Bahkan ada aktifitas sekelompok orang yang sempat membuat gagasan untuk
mengubah NKRI menjadi negara federal.
3.
Tidak Ada Road Map
Secara historis bila
peristiwa-persitiwa bersejarah di tanah air kita amati, ada faktor penting untuk
ditarik sebagai pelajaran yaitu setiap kali terjadi pergolakan, terjadi
pergantian pemerintahan, selalu bangsa dan negara ini mengalami apa yang disebut
setback, sebuah kemunduran, seakan kita harus lahir kembali dengan
kondisi pada titik nadir. Pemerintahan yang baru menolak unsur-unsur yang lama
dan ketika pemerintahan yang lebih baru lahir, juga mengingkari hampir semua
yang dihasilkan oleh pemerintahan sebelumnya. Sehingga bangsa ini seakan terus
berjalan tertatah-tertitih, tidak tampak kemajuan yang signifikan sebagai bangsa
yang merdeka dan berdaulat, apalagi bila dibandingkan dengan bangsa lain.
Sebab utamanya adalah oleh karena
bangsa kita tidak pernah menetapkan sebuah road map dalam pembangunan,
tidak pernah membuat sebuah peta bumi perjalanan bangsa. Karena road map
nasional itu tidak pernah dimiliki dan tidak pernah dipegang teguh dan tidak
mengikat kita sebagai milestone atau benchmark pembangunan, maka
setiap kali terjadi pergantian pemerintahan dengan mudah membuat rencana yang
baru dan membuang yang lama. Contoh, Zaman Bung Karno dikenal adanya Pola
Pembangunan Nasional Semesta. Begitu Orde Baru lahir, disebutlah GBHN dengan
Pola Pembangunan Nasional Jangka Panjang Pertama dan Kedua dengan menyatakan
bahwa Pembangunan Nasional baru dimulai sejak zaman Orde Baru, seakan zaman
Proklamasi, kelahiran NKRI, perang kemerdekaan, peletakan falsafah bangsa dan
dasar negara yang berupa Pancasila dan UUD 1945 dianggap bukan hasil pembangunan.
Memasuki zaman Reformasi, apa yang dilahirkan pada zaman sebelumnya itu seakan
semua dianggap salah, dan dibuatlah satu platform baru.
Tiap pergantian pemerintahan kita
membuat platform baru. Pembuatan platform baru itu dimungkinkan
oleh karena negara ini tidak mempunyai road map yang mengikat di dalam
perjalanannya. Itulah sebabnya di era globalisasi seperti sekarang ini,
pengalaman sejarah yang tidak baik itu harus kita akhiri. Sekarang harus kita
miliki sebuah road map pembangunan negara. Siapapun yang berkuasa, partai
apapun yang berkuasa, bangsa Indonesia wajib menghormati dan berjalan di atas
road map tersebut sesuai dengan tahapan dan dinamika keadaan.
Dengan tidak adanya GBHN, secara
konstitusional, memang Presiden mempunyai hak untuk mengajukan visi dan misi
tentang apa yang akan dikerjakan dalam kurun waktu masa jabatannya (lima tahun).
Presiden pengganti pada kurun waktu berikutnya juga punya hak yang sama untuk
jangka waktu yang sama. Dengan demikian bagi kehidupan bangsa tidak ada jaminan
dan kepastian kesinambungan Pembangunan Indonesia. Oleh karena itu perlu
dimiliki road map yang ditetapkan bersama antara eksekutif dan legislatif
dalam bentuk undang-undang tentang Pola dan Rencana Pembangunan yang berisi
road map yang mengikat semua pihak.
Dalam road map itulah
diletakkan landasan, rencana, tujuan serta jangka waktu yang sudah menjadi
kesepakatan nasional yang didasarkan pada kondisi obyektif, faktor eksistensial
negara ini dalam mewujudkan cita-cita nasional. Inilah faktor pendorong perlunya
mengapa sejak tahun 2004 ke depan, harus dimiliki sebuah road map bagi
bangsa ini yang disebut : Pola dan Rencana Pembangunan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, disingkat PORENBANG NKRI.
4.
Kesalahan Orientasi Pembangunan
Keberhasilan Pembangunan Nasional
suatu negara akan dicapai, apabila orientasi pembangunan tersebut diletakkan
secara tepat terutama sesuai dengan kondisi obyektif geografis negara yang
bersangkutan. Kondisi geografis adalah kondisi obyektif yang dimiliki oleh
negara yang bersangkutan. Ada negara yang disebut land-locked country
atau negara yang terkungkung oleh daratan, seperti Afghanistan dan Swiss. Negara
tersebut tidak memiliki armada niaga laut. Orientasi pembangunan hanya ke darat
(land base oriented) dan atau inward looking (melihat ke dalam).
Berbeda dengan negara yang berbatasan dengan laut seperti India, Amerika Serikat
yang disebut coastal state (negara pantai), orientasi pembangunan tidak
saja ke dalam (inward looking) tetapi juga ke luar (outward looking).
Negara tersebut memerlukan pembangunan wilayah lautnya untuk membangun armada
laut atau kekuatan maritimnya.
Indonesia bukanlah suatu
land-locked country, bukan pula suatu coastal state biasa, tetapi
adalah sebuah archipelagic state (Negara Kepulauan) dan mempunyai posisi
strategis sebagai Negara Nusantara. Karena itu tidaklah tepat penentuan
orientasi pembangunan yang berjalan selama ini yaitu land base oriented (berorientasi
ke darat), karena secara obyektif tidak cocok dengan kondisi geografis yang
konfigurasi teritorialnya merupakan Negara Kepulauan, bukan darat semata atau
sebuah benua. Kesalahan meletakkan orientasi pembangunan inilah yang menjadi
salah satu sebab terjadinya kesenjangan antara kawasan Indonesia bagian Barat
dengan bagian Timur. Juga karena kesalahan menentukan orientasi pembangunan
inilah, maka potensi laut yang dimiliki oleh Negara Indonesia sangat minim
dimanfaatkan sehingga tidak bisa menjadi kekuatan bangsa yang handal untuk
pembangunan negara.
Di antara faktor-faktor eksistensial
yang terkait dengan wilayah nasional dan vital bagi kelangsungan hidup NKRI
sebagai satu Negara Kepulauan dan sebagai satu Negara Nusantara adalah dimensi
wilayah laut yang berciri khusus. Faktor ini bukan saja merupakan faktor yang
dominan tetapi merupakan raiçon d’être atau sebab adanya Indonesia
sebagai Negara Kepulauan. Karena itu sasaran akhir rencana 25 tahun mendatang
adalah memanfaatkan potensi laut secara optimal untuk menjadikan Indonesia
sebagai satu Negara Maritim yang besar dan kuat, yang ditopang oleh industri
yang modern dan pertanian yang maju.